Sunday, February 28, 2016

Blokir OTT bandel jadi program pemerintah ?

Dicuplik dari artikel Bisnis.com "Aplikasi Over The Top akan Diblokir. Line, WhatsApp dkk Bakal Mati"
Rabu, 24 Februari 2016, 16:44 WIB
Lukas Hendra TM

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan melakukan pemblokiran melalui operator seluler untuk aplikasi over the top (OTT) yang tidak memenuhi ketentuan beleid soal kewajiban badan usaha tetap.

(Red. : kenapa hanya dari operator seluler ? Bagaimana dengan OTT yang melewati fixed broadband ?)

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya tengah melakukan finalisasi untuk diterbitkannya peraturan menteri berkaitan dengan kewajiban badan usaha tetap (BUT) bagi pemain OTT yang beroperasi di Indonesia.

Dia menargetkan beleid itu akan meluncur pada akhir Maret 2016 yang di dalamnya juga menyebutkan soal masa transisi bagi OTT agar bisa memenuhi kewajiban tersebut. "Punishment kalau nggak dipenuhi, teknisnya gampang, nanti diblokir dari operator," katanya di Kantor Staf Presiden, Rabu (24/2/2016).

Dia mengungkapkan pendekatan kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi memang bersahabat dengan pebisnis, tetapi juga tidak terlalu lunak. Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pelaku OTT bisa memenuhi kewajiban itu.

Namun, dia tidak ingin jika OTT hanya membuka kantor cabang saja, melainkan harus berbadan usaha di Indonesia. Para pemain OTT, lanjutnya, juga bisa membentuk badan usaha patungan (joint venture/JOV) atau bisa juga memilih bekerja sama dengan operator seluler.

(Red.: Lagi2 seluler, OTT diatas jaringan data fixed juga ada kan ?)

Rudiantara menyebutkan upaya tersebut sebagai bentuk terhadap perlindungan konsumen. Namun, upaya ini juga bisa mengeruk potensi pajak yang tidak terserap akibat OTT tidak berbadan hukum di Indonesia.

Dia mencontohkan pada 2015 iklan digital dari Indonesia memiliki nilai US$430 juta. "Kalau misalnya kena PPn 10% sudah US$43 juta, belum PPh badan," ujarnya.

Sebelumnya, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mendesak pemerintah bersikap tegas dengan memblokir OTT asing yang telah lama beroperasi dan menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar untuk meraup keuntungan.

Nonot Harsono, Chairman of Mastel Institute memprediksi pemain OTT asing akan tumbuh dengan signifikan di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Indikator itu sangat dimungkinkan sejalan dengan pertumbuhan pengguna Internet dan smartphone di Tanah Air.

Dari 255,5 juta penduduk Indonesia, 72,2 juta di antaranya merupakan pengguna Internet aktif. Di sisi lain, pengguna smartphone di Tanah Air juga telah melebihi jumlah penduduk di Tanah Air yaitu sebanyak 308 juta pengguna . Artinya, setiap satu orang Warga Negara Indonesia sampai saat ini menggunakan satu hingga dua smartphone.

“Tidak sedikit pemain OTT asing ini yang menjalankan bisnisnya di Indonesia tanpa permisi seperti Line, Whatsapp, Kakao Talk, Netflix dan masih banyak yang lainnya. Mereka seharusnya mengajukan izin terlebih dulu kalau ingin berjualan di sini,” ujarnya.

Nonot menjelaskan saat ini tidak sedikit pemain OTT asing yang mulai beroperasi di Indonesia secara vulgar seperti yang dilakukan oleh layanan video streaming Netflix beberapa waktu lalu.

Menurutnya, Netflix merupakan salah satu pemain OTT asing yang tidak memiliki izin badan usaha di Indonesia, sehingga pemerintah sulit mengenakan pajak dan biaya lainnya untuk pemasukan pemerintah. “Kami mengapresiasi sikap Telkom yang dengan tegas memblokir layanan Netflix tersebut,” tegasnya.

Win customers by targeted content and leveraging billing assets


Taken from Total Telecom's article "Time is right for telcos to profit from mobile TV"

By Mary Lennighan, in Barcelona
Tuesday 23 February 2016

Operators can win customers by offering more targeted content, leveraging their billing assets to encourage consumers to make small purchases.

Customers are willing to pay more – to a certain extent - for the right multi-screen TV service and that could mean an additional revenue stream for telecoms operators, provided they get their propositions right.

As networks evolve, telcos are able to provide multi-screen offerings and mobile apps in addition to their standard home broadband and TV offers. And while consumers, particularly the younger generations, expect this sort of capability as standard, there is still some incremental revenue to capture.

Telcos' billing assets give them a big opportunity in the market, by facilitating low-value transactions on the part of their customers.

A customer is more likely to pay for a movie rental or sign up for a Netflix package, for example, if they can add the cost to their regular bill, and as a result content providers are more likely to give a small revenue cut to the telcos.

Customers are very happy to pay a slight premium, on top of a standard home broadband and TV package for a TV bundle that comes with the right content, said Lewis Insight.

Customers will pay for their fixed and mobile connectivity, but operators can generate "thin-ish layers of revenue [on top]… as long as it's not extortionate".

This is especially true for telcos competing with high-end cable packages, where customers are paying a premium for a plethora of channels, many of which they don't actually want. Telecoms operators can be more relevant by offering more targeted content.