Session minggu lalu dan beberapa pertemuan kedepan lebih banyak akan fokus di Change Management. Perubahan dari perspektif IT infrastruktur sudah dimuli di minggu lalu. Pembahasan berikutnya akan dilanjutkan melalui presentasi per kelompok dan diskusi. Pembahasan Change dari perspektif Management akan perlahan dibahas baik melalui klasmaya maupun selipan di sessi pertemuan.
Sebagai awal dari bahasan pengelolaan perubahan, berikut disampaikan artikel dari rubrik koran Kompas mengenai buku Change! Rhenald Kasali. Buku-nya cukup menarik, dengan cerita-cerita kasus yang mudah dicerna. Ada pula beberapa artikel dari Kasali langsung, namun saya melihat resume dari artikel ini cukup representatif buat cerita buku Change!.
Artikel sudah sedikit di edit, untuk melihat tulisan orisinalnya bisa diakses di Kompas.
Change ! (andi suruji)
"Change! Tak Perduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar Arah Sekarang Juga." Sangat provokatif memang. Tetapi memprovokasi orang lain agar kembali ke jalan benar, tentulah pekerjaan mulia.
"Dunia usaha tidak perlu takut melakukan perubahan," demikian Rhenald Kasali ketika memaparkan bukunya. "Hampir setiap saya memberikan ceramah tentang manajemen, selalu saja muncul pertanyaan yang sama, yaitu harus mulai dari mana?" Padahal, kata dia, perubahan dapat dimulai dari mana saja.
Inilah persoalannya. Karena tidak mengerti, akhirnya mereka melakukan kerja hari ini seperti yang dikerjakan kemarin. Padahal, masalah hari ini sudah berbeda dengan masalah kemarin. Akibatnya, kata Rhenald, kita di Indonesia seperti hidup di masa lalu dan terlalu mengandalkan "past solutions" yang tidak memberi solusi apa-apa. "Sudah sangat jelas masyarakat menuntut adanya perubahan," katanya lagi.
Berubah atau mati! Itu provokasi lain Rhenald Kasali. Buat apa suatu perubahan atau institusi terus dipertahankan kalau ia hanya menjadi beban masyarakat? Hidup, tetapi mengidap penyakit ketuaan, tidak memberi manfaat, dan menyulitkan banyak orang.
Dalam setiap perubahan selalu ada dua pihak. Mereka yang menganut asas "seeing is believing" dan "believing is seeing". Padahal, untuk menciptakan perubahan, pertama-tama harus ada yang bisa mengajak semua pihak "melihat". Namun, ini saja tidak cukup. Mereka yang "melihat" belum tentu "bergerak", yang "bergerak" belum tentu "mampu menyelesaikannya".
Sebagian besar orang telah terperangkap oleh kesuksesan masa lalu. Dan seperti kata Peter Drucker, bahaya terbesar dalam turbulensi bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan "cara berpikir kemarin" yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.
Dalam buku itu dia memaparkan banyak jalan yang telah ditempuh tokoh-tokoh besar dalam melakukan perubahan. Lee Kuan Yew, Vaughn Beals (Harley Davidson), Lee Iacocca (Chrysler), Robert Voyce di Intel. Tokoh-tokoh di dalam negeri juga ditampilkan. Disebutnya contoh Bupati Darmili (Pulau Simeulue) yang membuka daerahnya yang semula sangat terisolasi. Ada pula alm. Cacuk Sudariyanto (Telkom), Marzuki Usman (pasar modal), Pramukti Surjaudaja (Bank NISP), dan lain sebagainya.
"We must be the change we wish to see in the world..." GANDHI. Begitu bunyi pesan singkat seorang teman ketika dia berjuang mengubah kultur sebuah badan usaha milik negara.
Menurut Rhenald, jika transformasi dilakukan secara struktural dan kultural, maka perubahan bak "pesta" yang menyenangkan. (andi suruji)
No comments:
Post a Comment