Media komunikasi dan kolaborasi pembelajaran a'la virtual. Supplemen kuliah melalui e-class atau e-learning untuk Jurusan terkait dengan Sistem Informasi, Teknologi Informasi (IS/IT), Sistem Komputer dan Teknik Industri.
Sunday, May 20, 2012
Quote of this month (05/2012)
Albert Einstein'Not everything that counts can be counted,
and not everything that can be counted counts'
Saturday, May 19, 2012
Bagaimana menghitung MBRI (Mobile Broadband Readiness Index)
Kali ini saya mau mengulas posting sebelumnya Index MobileBroadband Readines dan ICT Development Index, khususnya kebingungan saya terhadap rangking yang GSMA.
Yang rada aneh, Korea dari data tersebut berada diurutan 5
dibawah Jepang, Singapura, Hongkong dan Australia. Padahal jika mengacu ke data
ITU, negara KimChi ini menduduki posisi tertinggi dalam densitas jumlah Mobile
Broadband sedunia, diikuti Jepang (2), Australia (4), Hong Kong (6) dan
Singapura (9) seperti yang dilansir oleh situs yang sama dengan judul Top 25mobile broadband markets based on subscribers in 2011 pada akhir Januari lalu.
The mobile broadband
penetration in Korea Rep is 91 (Active mobile broadband subscriptions per 100
inhabitants). Japan 87.8, Sweden (84) and Australia (82.7) ranked second, third
and fourth, respectively, according to ITU.
ITU said 159 economies
worldwide have launched 3G services commercially and the number of active
mobile-broadband subscriptions has increased to almost 1.2 billion.
While people in
developed countries usually use mobile-broadband networks in addition to a
fixed broadband connection, mobile-broadband is often the only access method
available to people in developing countries.
The percentage of the
population covered by a 2G mobile-cellular network is twice as high as the
population covered by a 3G network. 3G population coverage reached 45 percent
in 2011.
With 5.9 billion
mobile-cellular subscriptions, global penetration reaches 87 percent, and 79
percent in the developing world.
Mobile-broadband
subscriptions have grown 45 percent annually over the last four years and today
there are twice as many mobile-broadband as fixed broadband subscriptions.
Data ini perlu dibandingkan dengan jumlah pelanggan mobile broadband di Indonesia yang diwakili oleh TelkomSel, baik Flash maupun smartphone, Indosat, Excell, dan pelanggan operator lainnya termasuk Flexi melalui FlexiNet nya.
45 percent of the
world's Internet users are below the age of 25. Over the last five years,
developing countries have increased their share of the world's total number of
Internet users from 44 percent in 2006 to 62 percent in 2011. Internet users in
China represent almost 25 percent of the world's total Internet users and 37
percent of the developing countries' Internet users.
Mungkin pertanyaan tentnag keanehan informasi yang saya
kemukakan diatas bias dijawab oleh statement ini:
The Mobile Broadband
Readiness Index (MBRI) indicates that countries creating an ecosystem conducive
to growth in mobile data services have the potential to make rapid leaps ahead
of their peers.
Index Mobile Broadband Readines dan ICT Development Index
Situs www.telecomlead.com dengan judul Telecom markets in China, India and Indonesia to drive mobile broadbandgrowth in 2012 yang ditulis 16 Februari lalu menuliskan
Emerging market
operators will see double digit mobile connections growth in 2012. Mobile
markets with relatively low mobile penetration, such as China, India and
Indonesia, will be the key drivers of this growth. Mobile broadband will be the
main driver of this growth, according to Ovum.
Sebenarnya di Indonesia sendiri mobile penetration sudah
mendekati jumlah populasinya, meski sebagian diakibatkan oleh pelanggan yang
memiliki seluler lebih dari satu nomor.
Tapi untuk mobile broadband, saya setuju masih memungkinkan pertumbuhan
dua digit di Indonesia.
Grafik yang dibuat dari data GSMA menunjukkan posisi mobile
broadband readiness index Indonesia berada di urutan 10 diantara 16 negara Asia
Pacific (mustinya 17 negara, tapi saya kehilangan angka index Bangladesh dari
artikel situs tersebut)
Ovum said that revenue
growth, margins and return on investment will be far more important metrics
than connections growth in 2012 as connections and average revenue per user
(ARPU) are becoming increasingly irrelevant due to the growing prevalence of
multiple SIM ownership in most markets.
A decline in
smartphone prices and feature phones with enhanced capabilities will further
drive the demand for data. Many feature phones will offer comparable
capabilities and user experiences to smartphones at a significantly lower
price.
Jika mengacu pada Dokumen ITU: Measuring the InformationSociety 2011, ICT Development Index (IDI), khususnya yang saya cuplik
untuk negara di regional Asia, dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara Global, Korea menempati ranking-1 diikuiti oleh
negara Swedia, Islandia, Denmark, Finland yang disusul negara Asia kedua Hong
Kong. Sementara Jepang dan Singapura menempati posisi di urutan 13 dan 19 di
tahun 2010.
Data ITU juga menunjukkan Negara Saudi Arabia selama tahun
2008-2010 memperlihatkan peningkatan IDI tertinggi (dari 4.13 menjadi 5.42) diikuti
Qatar, Belarusia, dan Macau.
Jika diukur dari perubahan ranking IDI, maka Armenia menjadi
negara yang yang melompati urutan tertinggi dari ranking 86 di tahun 2008
menjadi ranking 72 di tahun 2010. Urutan lompatan ranking IDI berikutnya
dipegang oleh Vietnam, Maroko, dan Saudi Arabia. Sedangkan untuk penurunan
rangking tertinggi dipegang oleh Thailand dan Cuba, meski tidak ada satupun
yang mengalami penurunan index IDI.
Bagaimana dengan Indonesia?.
Negara kita yang tercinta, mengalami peningkatan index IDI dari angka
2.39 di tahun 2008 menjadi 2.83 di tahun 2010, atau naik sebesar 0.44 point.
Sementara dilihat dari sisi rangking, Indonesia juga mengalami kemajuan dari
sebelumnya di rangking 107 dunia ke urutan 101, meski masih di atas 100 besar
dunia.
Jika dibandingkan dengan populasi dari Negara Asia Pasifik
data GSMA, sebanyak 15 negara (minus Taiwan yang tidak terdaftar di dokumen ITU),
maka Indonesia berada diurutan 12. Namun kondisinya memang berbeda mengingat
data ITU merupakan representasi tahun 2010 sedangkan GSMA merupakan data tahun
2011. Dengan kata lain diperkirakan IDI Indonesia di tahun 2011 akan semakin
meningkat dibanding tahun 2010. Sayangnya, ITU kemungkinan baru akan melakukan
survey IDI berikutnya untuk data tahun 2012. Kita tunggu saja laporannya di tahun
2013 (lama banget ya!)
Wednesday, May 16, 2012
e-Health di Indonesia
Situs VivaNews akhir tahun lalu melansir headline dengan judul Indonesia to Develop Mobile
Cloud Health App. Disebutkan bahwa Indosat melalui cloud computing dengan berkolaborasi
dengan Alcatel-Lucent dengan ng Connect-nya, akan menyediakan layanan
kesehatan yang menghubungkan berbagai stakeholder di dunia kesehatan, seperti
dokter, perawat, dan pasien. Aplikasinya sendiri akan dikembangkan di Indosat
Innovation Lab di ITB Bandung.
Situs dailysocial.net menyebutkan : penggunaan layanan Cloud Health memberi kemampuan dokter untuk mengakses
record data pasien secara lengkap sebelum melakukan pengobatan. Juga seandainya
ada pasien yang membutuhkan layanan kesehatan tapi dokter yang diinginkan
sedang tidak di tempat, melalui aplikasi ini perawat bisa melakukan pertolongan
awal menggunakan petunjuk dari dokter. Tentu saja bentuk implementasinya nyata
bakal bermacam-macam.
Di luar negeri sendiri masih ada mixed opinion, di satu
sisi, banyak yang melihatnya taraf pengembangan, (akusisi Dell untuk InSite One dan kolaborasi dengan Microsoft
untuk medical records dan medical data archives), di sisi lain, ada yang tak berhasil (GoogleHealth). Padahal menurut survei Frost & Sullivan, pendapatan yang bisa
diperoleh untuk Personal Health Records diprediksi mengalami peningkatan hingga
33% di tahun 2015.
Di Indonesia, e-Health sebenarnya sudah lama dikembangkan
Telkom Group melalui anak usaha AdMedika yang memberikan layanan TPA (Third
Party Administration) dan Medical Evacuation. Layanan Hospital Information
System dan platform Health Information Exchange masih dikembangkan untuk
melengkapi ekosistem e-Health tersebut. Pada akhirnya peran industry kesehatan
diperlukan untuk memajukan layanan berbasis informasi ini.
Google Health the rise and fall
Peluncuran Google Health
Awal tahun 2008 Google meluncurkan layanan Google Health dengan berkolaborasi dengan Cleveland Clinic.
Persisnya tanggal 28 February 2008 Marissa Mayer, VP, Search & User
Products menulis di blog Google sebagai berikut:
Google Health aims to
solve an urgent need that dovetails with our overall mission of organizing
patient information and making it accessible and useful. Through our health
offering, our users will be empowered to collect, store, and manage their own
medical records online.
For the healthcare
industry, online personal health records (PHRs) aren't a new idea and, in some
cases, online PHRs already exist for patients. Here's what we think sets Google
Health apart:
Privacy and Security - Google
Health will protect the privacy of your health information by giving you
complete control over your data. We won't sell or share your data without your
explicit permission.
Platform - We're assembling
a directory of third-party services that interoperate with Google Health. Right
now, this means you'll be able to automatically import information such as your
doctors' records, your prescription history, and your test results into Google
Health in order to easily access and control your data. Later, this platform
strategy will mean that you will be able to interact with services and tools
easily, and will be able to do things like schedule appointments, refill
prescriptions, and start using new wellness tools.
Portability - Our
Internet presence ultimately means that through Google Health, you will be able
to have access and control over your health data from anywhere. The user can
simply import the data from each medical facility and then choose to share it
with the other facilities.
User focus -We're proud
of the product that we've designed and are continuing to build, but recognize
that we are just at the initial stages of our "launch early and
iterate" strategy.
Penutupan Google Health
Pertengahan tahun 2011, tepatnya tanggal 25 Juni 2011, atau hampir
3.5 tahun akhirnya Google menutup layanan tersebut. Melalui Google Corporate Blog ditulis:
When we launched Google Health, our goal was to create a
service that would give people access to their personal health and wellness
information. We wanted to translate our successful consumer-centered approach
from other domains to healthcare and have a real impact on the day-to-day
health experiences of millions of our users.
Now, with a few years of experience, we’ve observed that
Google Health is not having the broad impact that we hoped it would. There has
been adoption among certain groups of users like tech-savvy patients and their
caregivers, and more recently fitness and wellness enthusiasts. But we haven’t
found a way to translate that limited usage into widespread adoption in the
daily health routines of millions of people. That’s why we’ve made the
difficult decision to discontinue the Google Health service. We’ll continue to
operate the Google Health site as usual through January 1, 2012, and we’ll
provide an ongoing way for people to download their health data for an
additional year beyond that, through January 1, 2013. Any data that remains in
Google Health after that point will be permanently deleted.
Boosting StartUp for Next Giant App
Inilah 16 Startups yang Terpilih untuk Pitching di Ajang Satellite Indonesia – Echelon 2012
By Amir Karimuddin - April 5, 2012
Disalin dari situs dailysocial.net
Dalam rangkaian mencari 50 startups terbaik di kawasan Asia, komite Echelon 2012 mengadakan acara Satellite di sejumlah negara. Satellite Indonesia sudah memasuki babak akhir dengan memilih 16 startups yang akan pitching di depan panel juri. Pitching akan diadakan tanggal 7 April di Menara Multimedia – Telkom Kebon Sirih, di mana juri merupakan representatif dari Research in Motion (RIM), Mindtalk, e27, Amazon Web Service (AWS), dan Magnivate Group. Jadwal lengkap untuk acara Sabtu besok bisa dilihat di agenda berikut.
Nah, lalu siapa saja 16 startups yang terpilih ini? Ternyata pesertanya tidak hanya dari Indonesia saja. Ada 13 startups Indonesia, 2 startups Malaysia dan 1 startup Singapura yang bakal pitching. Satu startup Singapura adalah Squiryl yang merupakan platform sosial untuk merchant untuk mengikat konsumen dengan program loyalitas (loyalty program). Sementara itu startup Malaysia yang akan berlaga adalah TaxiMonger (untuk memesan taksi dan me-review kualitas layanan taksi) dan cr.my(hosting untuk berbagai kontes yang berlangsung secara online).
Kembali ke tanah air, 13 startups Indonesia yang akan pitching adalah sebagai berikut:
- Bistip – jasa penitipan barang secara online yang telah memenangkan berbagai penghargaan, termasuk saat SparxUp 2011 lalu. Simak review kami di sini
- Gobann – situs untuk pencarian microjobs untuk dengan upah 50 ribu Rupiah
- AppsChef – layanan cloud Software as a Service (SaaS) yang menawarkan sejumlah aplikasi perkantoran untuk UKM
- KirimPaket – bursa jasa pengiriman, di mana pengirim dan jasa pengiriman bertemu
- Tandif – layanan moderasi (otomatis) untuk berbagai situs dan aplikasi
- Tourexplora – layanan travel yang membantu membandingkan paket tur dan harganya dari berbagai provider
- Klik-Eat – layanan pemesanan dan pengantaran makanan secara online. Lihat review kami di sini
- HelloGoodBuy – situs e-commerce yang membantu konsumen menemukan deals dan penawaran terbaik di area terdekat secara real time
- Kark – platform edukasi yang membantu pengajaran dengan menciptakan stimulasi dan pengalaman bermain. Kark adalah pemenang Telkomsel Startup Bootcamp
- Eductory – media online bagi orang tua untuk menemukan informasi pendidikan yang lengkap. Eductory adalah lulusan angkatan pertama Founder Institute
- Fokado – situs e-commerce untuk membantu menemukan hadiah-hadiah unik. Fokado adalah lulusan angkatan pertama Founder Institute
- Volpen – platform kolaborasi untuk penulisan buku. Simak review kami di sini
- Updaterus – platform sosial media untuk membantu mengapresiasi kecantikan dan inspirasi perempuan
Kami ucapkan selamat bertanding untuk semua startup yang terpilih dan jadilah wakil Satellite Indonesia untuk ajang Echelon 2012 di bulan Juni mendatang.
Akusisi, Merger, atau Aliansi ? BTEL & STI
Tentang Sinergi Bakrie Telecom dan Sampoerna Telekomunikasi
By Amir Karimuddin - March 15, 2012
Kemarin, pihak Bakrie Telecom (BTEL) dan Sampoerna
Telekomunikasi Indonesia (STI) mengumumkan kerjasama, di mana STI memperoleh
10% saham BTEL (senilai $90 juta) dan in return BTEL mendapatkan 35% saham STI
yang saat ini dimiliki oleh Sampoerna Strategic dan Polaris dengan opsi menjadi
pemegang saham mayoritas STI dalam 3 tahun ke depan. Badan usaha akan
disinergikan di bawah entitas BTEL.
Michael Sampoerna selaku Presiden Direktur Sampoerna
Strategic, pemilik STI, seperti dikutip oleh Kompas, menyebutkan alasan
peleburan entitas STI ke dalam BTEL adalah meningkatkan daya saing yang
dimilikinya untuk melakukan ekspansi di infrastruktur komunikasi data, yang
bakal menjadi tren di masa mendatang. Dengan kata lain, ketimbang melakukan
investasi mahal di area ini (dan Sampoerna belum yakin bakal untung), lebih
baik ikut dengan perahu/entitas lain yang “lebih aman”.
Menarik bahwa BTEL yang sebenarnya secara keuangan tidak
sehat benar (merugi sepanjang 2011) melakukan aksi korporasi besar melalui
merger dengan operator CDMA lainnya. Ini merupakan merger kedua di industri
telekomunikasi CDMA setelah Fren yang terus merugi diambil alih oleh Smart
Telecom dan sekarang menjadi smartfren. Sebelumnya Telkom pernah menjajaki
merger anak perusahaannya, Telkom Flexi, dengan BTEL namun akhirnya rencana ini
kandas karena ketidaksetujuan dari berbagai pihak.
Di satu sisi, BTEL akan mendapatkan frekuensi 6.25 MHz di
band 450 MHz yang menjadi milik STI dan akan digunakan untuk penetrasi ke
daerah pedesaan Sumatra dan Jawa yang selama ini dilakukan oleh STI menggunakan
brand Ceria. Di sisi lain, BTEL perlu menggalang dana untuk membiayai proses
ini.
Seperti dikutip dari Seputar Indonesia, BTEL akan
menerbitkan saham baru sebesar 10% (senilai Rp 900 miliar) yang bakal digunakan
untuk mendanai proses sinergi/akuisisi ini dan membayar utang yang bakal jatuh
tempo tahun ini sebesar Rp 650 miliar. Jadi sebenarnya yang keluar uang ini
siapa?
Buat saya, ini merupakan teknik financial engineering yang
selama ini memang merupakan keahlian Grup Bakrie. Di headline Reuters, justru
yang digembar-gemborkan adalah Sampoerna Group membeli 10% saham BTEL. Nah
pertanyaannya, apa benar ini sekedar tukar saham atau sebenarnya Sampoerna
memberikan investasinya (dalam bentuk dana segar) di sini?
Berikut adalah tulisan Reuters tanggal 1 Maret 2012, dua
minggu sebelum pengumuman sinergi BTEL dan STI:
“The Bakrie group is looking to sell some equity via a non
pre-emptive rights issue to raise money for Bakrie Telecom,” said the source.
That method of fund-raising means the company does not need shareholder
approval because the stake is within a 10 percent limit.
Bakrie Telecom will use the capital injection to pay back
some of its debt, including 650 billion rupiah of bonds maturing this
September, the source added.
The new partner will eventually buy up more shares and could
become a majority shareholder in Bakrie Telecom with a 51 percent stake, one
the sources added.
Jika kita menggunakan Reuters sebagai acuan utama, makanya
kronologisnya adalah sebagai berikut: BTEL butuh dana untuk melunasi hutang dan
ekspansi dan berencana menerbitkan 10% saham baru. Calon pembelinya adalah
Sampoerna dan ST Telecom (Korea). Berikutnya muncullah berita resmi sinergi
BTEL dan STI ini.
Dengan masuknya Sampoerna yang merupakan salah satu keluarga
kaya di Indonesia di jajaran pemilik BTEL, tentu saja ini menjadi assurance
bahwa bisnis BTEL akan tetap langgeng dan ini meyakinkan investor bahwa BTEL
masih memiliki prospek yang cerah. Dalam setahun terakhir, nilai saham BTEL
memang terus turun tanpa ada sinyal positif yang berarti.
Sinyalemen dari tulisan Reuters menunjukkan bahwa investasi
(dalam bentuk uang) bukan dilakukan oleh BTEL, melainkan oleh Sampoerna demi
untuk membayar utang dan berekspansi. Bahkan partner baru ini bakal memiliki
kesempatan untuk menjadi pemilik mayoritas baru BTEL. Jika kerjasama ini
dianggap menguntungkan oleh Sampoerna, bukan tidak mungkin nantinya malah
ceritanya bakal berbalik.
Jangan heran kalau setahun dua tahun ke depan bakal ada
headline baru di mana malah Sampoerna yang mengambil alih kepemilikan BTEL.
Kita-kita yang awam ini mungkin sulit untuk mempercayai hal seperti ini, tapi
di bisnis dengan banyak financial engineering yang bermain, ini semua adalah
mungkin.
Saturday, May 12, 2012
Penetrasi Mobile di Singapur 150%
Singapore mobile telephone penetration crosses 150 percent in 2011
2012-05-11
disalin dari situs telecomlead.com
Saya masih rada bingung dengan penetrasi melewati 150%. Dari
judul mustinya penetrasi dilihat dari jumlah penduduk terhadap jumlah seluler
phone.
Telecom Lead Asia: Singapore's overall mobile telephone
penetration passed the 150 percent mark in late 2011, according to the latest
"Singapore - Telecoms, Mobile and Broadband" report available from
Research and Markets.
The country's 3G market continues to flourish. In May 2011,
the country had around 5.8 million 3G subscribers, meaning 74 percent of all
mobile subscribers are 3G and effectively 100 percent of the households in the
country now have some form of high speed broadband Internet access.
The Singapore government's large scale project to build an
island-wide broadband network called the Next Generation National Infocomm
Infrastructure (Next Gen NII) is proceeding. While the IDA had initially
reported good progress on the roll-out of this network, in early 2012 it
intervened in the construction process upon concerns with the slowing pace.
According to the IDA the network will deliver universal
coverage by the 2013 target.
A significant trend noted in Singapore telecommunications
market is that the fixed line telephone services remain remarkably resilient
with what the IDA describes as more than 100 percent of households connected to
the fixed network.
SingTel Group, through its alliance with Bharti Airtel in
India, has further market presence in Bangladesh, Sri Lanka and Africa. By the
start of 2012 the SingTel group had 434 million mobile subscribers across its
many markets.
Singapore's mobile subscriber base has continued to grow
(152 percent penetration by December 2011) as well as its value-added data
services. The launch of 3G services has been particularly insightful. There was
an obvious period of uncertainty surrounding the introduction of 3G. After
launch in 2005 the take up rate was initially slow.
By early 2012, there were more than 5.8 million 3G
subscribers in a country where the total mobile market was around 7.8 million.
In other words 3G subscribers represented a compelling 74 percent of the total
subscriber base as 3G rapidly became the normal' mobile service in the country.
The roll-out of the national broadband network seemed to be
proceeding at a good pace through 2011. Nucleus Connect had started offering
commercial services on the network in September 2010. Network coverage had
reached the required 60 percent of the population by end-2010 and by halfway
through 2011 was on track to provide 95 percent coverage by mid-2012.