Friday, December 09, 2005

Pengelolaan Perubahan di Klasmaya

Di awal kuliah SI-516, saya melihat perlunya media komunikasi dan kolaborasi dari pengajar dan mahasiswa termasuk antar mahasiswa. Harapan media yang dibayangkan itu tersedia di infrastruktur kampus, nampaknya tidak mudah.

Akhirnya muncul inisiatif dengan solusi yang sedikit berbau swa-kelola dengan menggunakan media independent, bebas biaya, reachable, dan relative mudah sesuai kebutuhan pengguna muncul dari weblog phenomenon . Meski tidak semua fitur yang diperlukan tersedia, namun fungsi inti dengan user-friendly nya menghapus kebimbangan pemanfaatan fasilitas ini.

Media berbasis web seharusnya mudah dalam deployment maupun penggunaan. Tapi implementasi biasanya tidak semudah teori dan perencanaan. Aspek-aspek pendukung lainnya ternyata masih menjadi kendala. Aspek akses dari last-mile (partisipan) ternyata masih menjadi kendala. Meski institusi pengelola partisipan formal secara phisik terlihat anggun dan smells techie namun fasilitas yang tersedia tampaknya masih kurang. Alternatif pemanfaatan dari net-café juga bukan persoalan mudah, boro-boro urusan spending for collaboration on the net, urusan reference book saja sudah jadi prioritas diatas angka 4 setelah HP baru, vouchers, dan asesoris distro (maaf kalau a bit rude dan salah).

Aspek kedua, diluar struktural, adalah persoalan budaya, kebiasaan, termasuk konfidens. Kolaborasi terbuka, bahkan global, ternyata menjadi persoalan tersendiri. Meski ada hak melindungi diri dengan menggunakan alias, namun tidak menjamin untuk say something. Kebiasaan berkomentar juga terlihat di brick ‘n mortar class , coba saja lihat berapa banyak dari less than 15 pupils make a comment, apalagi opinions.

Lalu apa lesson learned yang bisa kita petik? …………. (Waiting for an answer…)

Komentar saya sederhana…. Situasi ini adalah materi ruang lingkup Change Management. Perubahan tidak cukup menyediakan sarana dan prasarana hanya disisi host, sementara partisipan dianggap diluar tanggung jawab. Perubahan tidak sekedar memberikan pencerahan tentang proses bisnis baru namun melupakan aspek kultur , motivasi dan menyerahkan semuanya pada partisipan. Pengelolaan perubahan selain mengelola perangkat keras (infrastruktur), perangkat lunaknya (prosedur dan budaya) juga harus menjadi perhatian utama.

Lalu siapa yang bertanggung jawab? Sekiranya anda sebagai Head of IT Department di suatu perusahaan yang diberi assignment mengelola sistem kolaborasi yang ternyata kurang (atau bahkan tidak) diminati pengguna, apa langkah anda selanjutnya ?

Masihkah menunggu komentar di sumur tanpa dasar ?

No comments: